
LITERASI PEMILU UNTUK DEMOKRASI
Oleh : Zulkarnain Hasanuddin, SE
(Anggota KPU Kab. Majene)
Sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat pemilu dan pemilihan (Pemilihan Umum & Pilkada). Sejatinya bukan hanya soal banyaknya pemilih (kuantitas) atau angka partisipasi yang tinggi, tetapi lebih penting juga berjalan dalam suasana yang kompetitif yakni jujur, adil, transparan dan akuntabel (kualitas) serta dapat menghasilkan pilihan-pilihan politik yang menghasilkan pemimpin politik yang berkualitas dan berintegritas. Dengan kata lain pemilu & pemilihan bukan hanya menghasilkan angka partisipasi yang tinggi tetapi juga menghasilkan mutu partisipasi yang berkualitas. Tentu ini dibutuhkan sebuah pra kondisi yang salah satunya adalah terus mendaras dan memahami (literasi) hakikat Pemilu Untuk masa depan demokrasi
Jika demokrasi sesuai dengan makna harfiahnya difahami sebagai ‘rakyat yang berdaulat (Demos = Rakyat, Cratie = kekuasaan/kedaulatan baik dalam sistem pemerintahan maka aspek yang paling penting dan niscaya adalah partisipasi masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan politik dalam kehidupan politik. Kualitas demokrasi tentunya tidak hanya melihat partisipasi warga secara parsial yakni hanya dalam menyalurkan hak pilihnya (voters) pada setiap pemilihan, tetapi jauh lebih penting adalah masyarakat mampu melakukan evaluasi dan terlibat secara aktif dengan nalar kritisnya untuk berkontribusi pada perjalanan kepemimpinan politik baik saat pemilihan dilaksanakan maupun pasca pemilihan untuk menghasilkan demokrasi yang baik.
Literasi pemilu dan pemilihan sebagai pengetahuan awal bagi warga adalah hal yang penting, karena dari situlah titik awal warga akan menyalurkan kedaulatannya untuk memilih pemimpin eksekutif dan legislative.sehingga warga membutuhkan stok argumentasi untuk dapat melakukan evaluasi program para kandidat mana yang punya kapasitas dan integritas untuk kemudian warga menyalurkan suaranya.
Lebih jauh harapan dalam literasi adalah partisipasi masyarakat yakni adanya kesadaran untuk ingin tahu dan tidak apatis terhadap diskursus-diskursus politik dan demokrasi baik yang dilaksanakan. Oleh penyelenggara pemilu, pemerintah maupun partai-partai politik, agar terbagun paradigma dan referensi untuk mengawasi dan sekaligus memastikan bahwa proses dan pelaksanaan demokrasi sesuai dengan hakikatnya. Samuel Huntington dan Joam Nelson (1977) menyebutkan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah.
Literasi politik sebagai metode pendidikan politik warga dengan pendekatan kearifan lokal (local wisdom) akan mempermudah interaksi antara warga (pemilih) dengan elemen penyelenggara sehingga proses transformasi informasi dan proses knowladge sharing akan berjalan efektif untuk peningkatan kualitas pemahaman warga tentang pemilu dan politik. Serta pola literasi ini juga akan mengkonsolidasi seluruh segmen/basis pemilih, karakter pemilih yang beragam juga baik keilmuan, sosial maupun ekonomi warga sehingga warga tidak menganggap seperti dalam ruang dan proses formalistik, maka proses literasi akan mengadaptasi hal tersebut diatas.
Dalam literasi pemilu ini pola dan metode tentu sangat mempengaruhi dan menentukan partsipasi warga untuk terlibat aktif, sehingga dibutuhkan metode literasi yang lebih humanis yang berbasis kearifan lokal (lokal wisdom), sehingga tidak menjarak antara warga dan fasilitator dan knowlage sharing mudah dan diserap dengan baik oleh warga.
Education Develompent Center (EDC) menyatakan literasi adalah kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis. Dalam perkembangannya, definisi literasi selalu berevolusi sesuai dengan tantangan zaman. Jika dulu definisi literasi adalah kemampuan membaca dan menulis. Saat ini, istilah literasi sudah mulai digunakan dalam arti yang lebih luas. Hakikat ber-literasi secara kritis dalam masyarakat demokratis diringkas dalam lima verba: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi teks.
Kesemuanya merujuk pada kompetensi atau kemampuan yang lebih dari sekedar kemampuan membaca dan menulis. Literasi menarik untuk dijadikan sebagai model pedidikan politik bagi seluruh segmen pemilih sebagai cara untuk memastikan pemahaman terhadap politik secara sistematis dan dapat di implementasikan dalam kehidupan berdemokrasi.
Terkait performance pemilih (Affan Gaffar) yang memetakan dua tipologi pemilih dalam pemilu, (1) kecenderungan munculnya pemilih patronase yaitu pemilih yang mendasarkan pilihannya pada ketokohan dan figur tertentu yang dianggap dapat mencitrakat dirinya sebagai pemimpin, (2) munculnya fenomena pemilih yang tidak memiliki rasionalitas dan hanya menjadi pemilih atau followers yang mengikuti suara-suara mayoritas.
Secara hipotesis pemilih yang irrasional atau pemilih yang buta politik (political illiteracy) memberikan dampat terhadap pelaksanaan dan hasil pemilu & pemilihan yang tidak berkualitas. Pemilu yang diwarnai praktek-praktek transaksional seperti money politic, mobilisasi sehingga menghasilkan para kandidat baik eksekutif maupun legislatif yang tidak kompeten dan tidak berintegritas. Berangkat dari soal atau pemikiran ini tentunya dibutuhkan sebuah desain sosialisasi dan pendidikan politik untuk menumbuhkan dan memperkuat nalar kritis untuk menghasilkan pemilih yang cerdas dan berdaulat.